RumahLebahPAY, Jakarta - Ba’da
maghrib, tepatnya pukul 18.20 saya berangkat dari kantor menuju Rumah Lebah. Hujan
yang menderas, tak menyurutkan langkah saya. Awalnya, sih, hanya rintik saat
saya tiba di gerbang Muara Bahari. Namun saat saya tiba di rumah Pak Syarif,
tepat pukul 18.30 hujan seperti tumpah ruah dari langit. Ternyata, adik-adik
Laskar Langit pun bersemangat seperti saya. Meski hujan, mereka tetap datang
mengaji ke rumah Pak Syarif. Bahkan ada empat adik yang baru bergabung.
Sehingga total yang terdaftar ada 74 Laskar Langit.
|
Gerbang menuju Kampung Muara Bahari |
Saat itu,
Pak Syarif sedang menguji adik-adik untuk maju satu per satu menyetor hafalan
doa pendek. Kebetulan, pikir saya. Sebab saat launching kemarin,
souvenir yang seharusnya saya bagikan terpaksa saya tunda karena tidak sesuai
jumlah adik dengan jumlah souvenir. Saya khawatir bila dibagikan akan
menimbulkan rasa iri pada yang belum kebagian. Yaa… antusiasme adik-adik yang
begitu tinggi, menyebabkan hampir tiap pertemuan kami menerima tambahan adik
baru yang ingin bergabung mengaji dan belajar.
Saya pun
memanfaatkan momen itu untuk memberikan souvenir pada mereka namun dengan
syarat harus menyetor hafalan dengan baik pada saya dan Pak Syarif. Mendengar perkataan
saya, adik-adik semakin bersemangat dan riuh mulut mereka berkomat-kamit
melancarkan hafalan doa. Kategori usia 5-10 tahun harus menghafal empat doa
sehari-hari. Ada yang memberanikan diri ke hadapan saya bahwa dia hafal
empat doa sehari-hari. Namun di tengah jalan, baru dua hafalan dia
tiba-tiba lupa. Mungkin karena grogi, hal itu terjadi beberapa kali, hingga
akhirnya ia mundur, duduk lagi menghafal.
Alhamdulillah
adik-adik yang berusia 11-14 tahun rata-rata sudah hafal surat selain surat Al
Ikhlas, Al Falaq, dan An Nas, dan juga bacaan salat. Mereka pun siap saya
berdayakan untuk mengajari adik-adik yang belum bisa bacaan salat. Ada
Topan yang bercita-cita menjadi tentara Allah (baca selengkapnya di sini) hafal
Surat Al Baqarah ayat 1-6. Siti Maulinda hafal Surat Abasa 42 ayat. Maulana hafal
sebagian juz 30. Sebagian besar mereka pun sudah hafal Surat Yaasiin.
|
Mereka yang berhasil menyetor hafalan dan mendapatkan souvenir |
Saya
angkat topi pada Pak Syarif dan Bu Susan. Sebab merekalah, anak-anak ini bisa
mengenal ayat-ayat cinta dari Tuhannya. Mengajar puluhan adik di Kampung Muara
Bahari setiap malam tanpa imbalan, bagi saya itu luar biasa dan merekalah
pahlawan tanpa tanda jasa.
Tiba-tiba
dari luar ada yang mengucap salam. Saya pun menjawab salamnya, dan
bergegas keluar, Terlihat seorang anak lelaki bertubuh kecil, memakai kalung,
bertelanjang dada, mengenakan celana pendek dan membawa payung. Saya mengenalinya.
Dia adalah Ariyanto. Ariyanto sering disuruh oleh ibu-ibu setempat dan diberi
imbalan. Dari salah seorang adik, saya jadi tahu bahwa bila hari hujan,
Ariyanto berubah profesi menjadi tukang ojek payung.
Setelah hujan mereda, Ariyanto datang menemui saya, mengatakan
dia ingin belajar. Penampilannya berbeda dengan sebelumnya. Kini dia sudah rapi,
sudah mandi, memakai kaus dan sarung. Terlihat sangat siap untuk belajar membaca
dengan saya. Saya pun mengajari Ariyanto dan mengamanahkan pada empat sekawan
(Wawan, Maulana, Daffa, dan Dodi) untuk membantu mengajarkan Ariyanto calistung.
SIAPA ARIYANTO?
Ariyanto
adalah anak laki-laki berusia 11 tahun. Anak kedua dari lima bersaudara. Mereka
ditinggalkan oleh orangtua yang mungkin bisa dibilang tidak bertanggung jawab.
Ariyanto dan keempat saudaranya diasuh oleh nenek mereka. Ariyanto putus
sekolah dan belum bisa calistung. Ariyanto termasuk anak yang mandiri. Sebelumnya
dia pernah menjadi kenek odong-odong, tukang cuci motor dan hari ini saya
melihat dia menjadi tukang ojek payung.
Satu
kata dari saya untuk Ariyanto: SALUT!
Anak
sekecil itu berusaha mencari nafkah dengan bekerja apa pun asalkan halal. Bisa dibilang
dia berjuang dalam hidupnya, bahkan berusaha menopang kebutuhan tiga adiknya.
Dari Ariyanto, saya belajar tentang perjuangan, pengorbanan, dan semangat
menjalani hidup. Bahkan dengan kondisi hidupnya yang seperti itu, dia tidak
menganggapnya sebuah beban. Seringkali dia bahkan menjadikan kondisi hidupnya
sebagai bahan untuk menghibur adik-adik Laskar Langit lainnya, agar tidak sedih
dan kecewa dengan hidup mereka.
*Rahmah Suciyani Sanuri